KESETARAAN GENDER TENAGA KERJA PEREMPUAN DI INDONESIA
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta
Pada
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas
Jenderal Achmad Yani
Oleh
:
Oki
Anggraini
6211091020
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2012
INTISARI
KESETARAAN GENDER TENAGA KERJA PEREMPUAN
DI INDONESIA
Oleh :
Oki Anggraini
6211091020
Globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata
terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Globalisasi
telah memberikan perubahan terhadap fokus isu internasional yang beralih pada
masalah sosial atau peningkatan taraf hidup manusia. Taraf hidup di dunia dapat
dikatakan masih cukup rendah karena banyaknya pekerja perempuan yang mendapat
upah murah. Pada saat ini pekerja perempuan semakin meningkat meskipun dengan
upah yang murah. Namun melihat hal itu, disatu sisi perempuan semakin diakui
peranannya dalam pembangunan sedangkan di sisi lain kita tidak dapat memungkiri
terhadap hal-hal semisal diskriminasi upah antara laki-laki dan perempuan,
pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan kerja, pengingkaran
persyaratan-persyaratan kerja tertentu, dan sebagainya.
Berbagai peraturan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja
telah berlaku di Indonesia, namun apakah hak serta perlindungan hukum yang
diberikan terhadap tenaga kerja perempuan sudah menjamin kedudukan mereka dalam
kenyataannya? Untuk membahas permasalahan mengenai hak dan perlindungan hukum
yang diberikan terhadap tenaga kerja perempuan dalam kenyataannya, maka penulis
akan menggunakan teori feminisme sebagai landasan pemikirannya. Teori feminisme
ini merupakan suatu upaya untuk mengkritik atas tingkah laku laki-laki yang
dimulai dari pemberian tekanan terhadap perempuan sebagai pekerja.
Kata Kunci :
Tenaga Kerja, Perempuan, dan Hak
ABSTRACT
GENDER EQUALITY WOMEN WORKERS IN
INDONESIA
By :
Oki Anggraini
6211091020
Globalization is a reality that has real consequences for how people
and institutions around the world to walk.Globalization has given the changes
in the focus of international issues are turning to social problems or
improving the quality of human life. Standard of living in the world can be said
is still quite low because of the many women who receive low wages. At this
time women workers has increased despite the low wages. But look at it, on the
one hand, women are increasingly recognized role in development, while on the
other hand we can not deny to things such as wage discrimination between men
and women, violations of the safety provisions, the denial of certain working
conditions, and so on.
Regulations relating to labor protection has been in force in
Indonesia, but whether the rights and legal protections afforded to women
workers have guaranteed their place in reality? To address issues of legal
rights and protections afforded to women workers, in fact, the author will use
feminist theory as the basis of his thinking. Feminist theory is an attempt to
criticize the behavior of men at the start of administration pressure on women
as workers.
Key Word :
Labor, Women, and Right
Pendahuluan
Pada saat berakhirnya Perang Dingin, dunia berada dalam masa transisi
yang menunjukkan kecenderungan baru secara substansial sangat berbeda dengan
masa-masa sebelumnya. Contoh yang dapat dilihat adalah mengemukanya isu-isu
baru yang telah mengubah wajah dunia seperti konflik etnis, munculnya terorisme
internasional, globalisasi, regionalisasi, dan cenderung pada isu-isu lokal.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.[1]
Sebagai fenomena baru, globalisasi dapat memiliki definisi yang berbeda-beda
tergantung dari sisi mana untuk melihatnya. Para globalis percaya bahwa globalisasi
adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana
orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan.[2]
Namun para globalis tidak memiliki pendapat yang sama mengenai konsekuensi yang
terjadi pada proses globalisasi, ada yang memiliki pandangan positif dan
optimis, ada juga yang memiliki pandangan negatif dan pesimis.
Pendukung globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia.[3]
Pada kenyataannya justru globalisasi memberikan dampak yang buruk, diantaranya
melemahnya pertumbuhan ekonomi, melemahkan industri dalam negeri, meningkatkan
kemiskinan, meningkatnya pekerja perempuan dengan anak-anak karena upah yang
murah, MNCs menerapkan industri padat modal, dan kesenjangan negara maju dan
negara berkembang meningkat. Melihat dari kenyataan yang ditimbulkan dengan
adanya globalisasi telah memberikan perubahan terhadap fokus isu internasional
yang beralih pada masalah sosial atau peningkatan taraf hidup manusia. Taraf
hidup di dunia dapat dikatakan masih cukup rendah karena banyaknya pekerja
perempuan yang mendapat upah murah.
Dalam hidup bermasyarakat manusia belajar melalui lingkungan dengan
sosialisasi, kenyataannya, biologis dan psikologis yang saling mempengaruhi.[4] Kehidupan manusia di dunia direkayasa oleh
lingkungan baik alam maupun tangan serta pikiran manusia sendiri. Manusia sejak
lahir memang telah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses
belajar manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan yang tidak hanya
memandang aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya
dan kesesuaian pekerjaannya. Dengan kata lain melalui ideologi gender, manusia
menciptakan "kotak" untuk laki-laki dan "kotak" untuk
perempuan sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya.[5]
Sehingga ciri laki-laki dan ciri perempuan "dikunci mati" oleh
ideologi gender.
Pada prinsipnya gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan
jenis kelamin.[6] Gender
membagi atribut dan pekerjaan menjadi "maskulin" dan
"feminim". Gender maskulin pada umumnya berhubungan dengan jenis
kelamin laki-laki, sedangkan gender feminim berhubungan dengan jenis kelamin
perempuan. Gender memang tidak bersifat universal, akan tetapi hierarki gender
bisa dikatakan universal. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa
perempuan selalu berada dalam posisi tersubordinasi.[7] Pada saat ini pekerja perempuan semakin
meningkat meskipun dengan upah yang murah. Namun melihat hal itu, disatu sisi
perempuan semakin diakui peranannya dalam pembangunan sedangkan di sisi lain
kita tidak dapat memungkiri terhadap hal-hal semisal diskriminasi upah antara
laki-laki dan perempuan, pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan
kerja, pengingkaran persyaratan-persyaratan kerja tertentu, dan sebagainya.
Perempuan dalam pembangunan memperlihatkan peran sentral perempuan
sebagai penghasil nafkah hidup dan pemberi nafkah atas kebutuhan dasar dalam
negara berkembang dan masyarakat yang sedang berkembang. Perempuan ini lebih
dimotivasi oleh keinginan untuk 'mengintegrasikan' perempuan ke dalam proses
pembangunan daripada oleh keinginan untuk mengakui dan mendukung perempuan yang
telah memiliki peran integral dan diperlukan dalam pembangunan ekonomi dan
sosial. Perempuan dalam pembangunan biasanya hanya membantu perempuan untuk
memenuhi kebutuhan kepentingan dan kebutuhan praktis dalam peranan
sub-ordinannya. Sehingga sedikit sekali memberikan kepada perempuan
keterampilan untuk memahami atau mengetahui sistem sosial, ekonomi dan politik
tempat mereka hidup. Akibatnya ketidaksetaraan yang ada antara laki-laki dan
perempuan diperkuat dengan bantuan pembangunan internasional. Berbagai
peraturan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja telah berlaku di
Indonesia, namun apakah hak serta perlindungan hukum yang diberikan terhadap
tenaga kerja perempuan sudah menjamin kedudukan mereka dalam kenyataannya?
Rebecca Grant menyatakan bahwa teori feminis berkembang berdampingan
dengan teori Hubungan Internasional pada abad 20 sejak berakhirnya Perang Dunia
I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di
Inggris dan Amerika Serikat.[8]
Teori feminisme ini merupakan suatu upaya untuk mengkritik atas tingkah laku
laki-laki yang dimulai dari pemberian tekanan terhadap perempuan sebagai
pekerja. Feminisme saat ini memang sudah menjadi bagian dari apa yang disebut
'Warisan Pencerahan Eropa' dan imbas upaya universalisasi emansipasi,
kebenaran, dan rasionalitas, meskipun 'keterkaitannya dengan warisan tersebut
sering kali dicatat sebagai sebuah bentuk perlawanan'.[9]
Beragam feminisme timbul dari gerakan feminis itu sendiri, yaitu ketika
sekelompok perempuan yang berbeda menghadapi representasi feminisme yang luar
biasa.
Menurut pemikir-pemikir feminis, Hubungan Internasional sebagai suatu
disiplin tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki
gender : perempuan dan kaum feminis telah disingkirkan dari panggung politik.
Berbagai analisis feminis menampakkan gender sebagai sebuah variabel dalam
pembuatan keputusan luar negeri dengan menunjukkan dominasi gender laki-laki
atas praktisi-praktisi konvensional dan memperlihatkan karakteristik maskulin
sebagai aktor rasional strategis yang membuat keputusan hidup dan mati atas
nama sebuah konsepsi abstrak 'kepentingan nasional'.[10]
Kedudukan perempuan menjadi kurang diperhatikan dalam pengambilan keputusan
hal-hal yang penting karena terikatnya perhatian para negarawan kepada
maskulinitas. Gender adalah sebuah variabel, suatu konstitusi teoritis, dan
kategori transformatif epistemik di dalam keilmuan Hubungan Internasional, yang
menyatakan bahwa praktek politik internasional yang nyata telah mengalami
kerugian karena mengabaikan perspektif feminis.
Pembahasan
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk keempat
terbesar di dunia.[11]
Jumlah perempuan di Indonesia telah ada hampir setengahnya dari populasi
penduduk yang semestinya direpresentasikan secara proporsional. Namun pada
kenyataannya kondisi perempuan di Indonesia belum dapat dikatakan
menggembirakan, di usia yang produktif ternyata masih terus dihantui oleh angka
kematian ibu melahirkan yang cukup tinggi yakni 307 : 100.000 (versi
pemerintah) adalah tertinggi di negara-negara ASEAN.[12]
Perempuan Indonesia menghadapi persoalan akibat dari ketimpangan gender di
lingkup domestik maupun publik. Dalam kasus antar gender, bargaining power
laki-laki lebih kuat, sehingga sering kali terjadi eksploitasi, majikan
terhadap buruh perempuannya, suami terhadap istrinya.
Feminisme, tuntutan agar perempuan sama di segala bidang merupakan
wujud dari keinginannya untuk menyejahterakan dirinya, keinginan untuk membuang
beban dengan tidak ingin punya anak, mungkin karena adanya reaksi kebencian
terhadap laki-laki karena menindas kepentingannya. Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen dalam upaya penyetaraan gender, yang memang terbukti banyak produk
hukum dan kebijakan publik yang telah dikeluarkan, namun persoalan gender masih
saja terus muncul. Berikut adalah beberapa produk hukum dan komitmen pemerintah
tersebut :[13]
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Wanita
dan pria memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam keluarga, masyarakat dan
pembangunan.
2.
GBHN 1999-2004
(TAP/IV/MPR/1999)
Meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sehingga terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Meningkatkan
kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan
nilai persatuan dan kesatuan serta histories perjuangan kaum perempuan.
3.
UU Nomor 7 tahun 1984
tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
perempuan.
4.
Undang-Undang Nomor 2
tahun 1989 : Sistem pendidikan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
dimulai tahun 1984. Orang tua dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita
ataupun pria sekurang-kurangnya sampai menyelesaikan SLTP.
5.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
6.
Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender dalam
pembangunan nasional.
7.
Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan di Daerah.
8.
Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor per-03/MEN/1989 : larangan pemberhentian hubungan kerja bagi wanita
karena perkawinan, hamil dan melahirkan.
9.
Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor per-04/MEN/1989 : aturan (tata cara) untuk melindungi tenaga kerja
wanita yang bekerja pada malam hari.
10. Perjanjian tentang persamaan pembayaran upah/gaji bagi
wanita dan pria untuk pekerjaan yang sama di Jenewa, disetujui dengan UU Nomor
80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Mengenai pengupahan bagi
laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lembaran negara No.
171 tahun 1957).
11. Konferensi Beijing "Beijing Platform for
Action", 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal
dengan 12 critical issues.
12. Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan
(International Conference on Population and Development-ICPD), Cairo 1994
mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan
yang berkelanjutan.
13. Tujuan Pembangunan Millennium / Millennium Development Goals (MDGs) di tahun 2000 terutama pada
tujuan ketiga yakni : mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Serta tujuan kelima yakni peningkatan kesehatan ibu.
14. Instruksi Presiden No. 3 tahun 2010 tentang
Pembangunan berkeadilan (sebagai penjabaran program MDGs).
Dari semua produk hukum dan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah
tersebut sebenarnya belum jelas dapat dilakukan secara nyata jika ketidakadilan
antara laki-laki dan perempuan terus ada. Kesetaraan gender dapat terjadi
dengan adanya kesamaan persepsi mengenai suatu hal yang terjadi dalam
kehidupan, baik itu persepsi yang berasal dari laki-laki ataupun perempuan.
Sehingga dalam mencara penyelesaian suatu masalah, atau membuat suatu kebijakan
pun tidak akan mementingkan satu pihak saja tetapi akan lebih mementingkan dari
segala sudut pandang beserta akibatnya.
Perempuan masih dianggap manusia kelas dua, dan memang hal tersebut
diakui oleh perempuan dengan menonjolkan identitas mereka, sesungguhnya selama
ini telah berlaku kompromi antara laki-laki dan perempuan. Dalam kompromi
tersebut akan menampung semua kepentingan bersama, untuk membuat kesepakatan
dalam hak dan kewajiban mereka sebagai diri masing-masing. Kesepakatan yang
didapatkan dari kompromi antara laki-laki dan perempuan harus terjadi karena
feminisme radikal yang menjauhkan perempuan dari laki-laki yang belum diterima
di Indonesia. Yang terjadi justru perempuan harus maju bersama dengan laki-laki
secara dominan.
Melihat dari ketentuan Undang-Undang yang melarang adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja (das sollen), maka seharusnya di dalam kenyataannya perempuan yang
bekerja memang benar-benar diperlakukan tanpa adanya diskriminasi dengan
laki-laki. Akan tetapi di dalam kenyataannya (das sein) sering terjadi diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan dalam banyak aspek dari pekerjaan.
Pasal 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja menyebutkan bahwa "tenaga kerja adalah tiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat."[14]
Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa perempuan dapat menjadi tenaga kerja dan
berpenghasilan tidak hanya laki-laki. Selain itu juga, tenaga kerja yang
bekerja di dalam maupun diluar hubungan kerja dengan alat produksi utama berupa
tenaga maupun pikiran dari yang bersangkutan. Namun hingga saat ini
peraturan-peraturan tentang ketenagakerjaan barulah menjangkau tenaga kerja
yang bekerja di perusahaan-perusahaan. Di dalam hubungan kerja sebenarnya
muncul keharusan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang
mengikatkan diri.
Hak atas Perlindungan Hukum
Tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan, kesehatan
serta kesusilaan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama. Adapun berbagai peraturan mengenai larangan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di bidang ketenagakerjaan adalah sebagai
berikut :[15]
1.
Undang-Undang Dasar 1945
(Pasal 27 ayat 2) : "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
2.
Undang-Undang No. 1
tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang No. 12 tahun 1948 (pasal
1) : "Orang dewasa; ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur di
atas 18 tahun ke atas; orang muda ialah orang laki-laki maupun perempuan yang
berumur di atas 14 tahun tetapi di bawah 18 tahun; anak-anak ialah orang
laki-laki maupun perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah".
3.
Undang-undang No. 80
tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
4.
Undang-undang No. 14
tahun 1969 (pasal 2) : "Dalam menjalankan undang-undang serta peraturan
pelaksanaannya tidak boleh ada diskriminasi".
5.
Undang-undang No. 7
tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Dari kelima undang-undang yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas
terlihat bahwa adanya larangan untuk mengadakan diskriminasi antara laki-laki
dan perempuan.
Dalam perusahaan di Indonesia masih adanya perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Perusahaan tersebut memberikan upah kepada pekerjanya dengan
memberikan tunjangan anak atau keluarga. Bagi tenaga kerja laki-laki yang
berstatus menikah ataupun duda dan mempunyai anak, akan diberikan tunjangan
tersebut. Namun bagi tenaga kerja perempuan dengan status yang sama akan
diperlakukan berbeda, artinya tetap dianggap sebagai bujangan dengan akibat
tidak memperoleh tunjangan keluarga. Dari hal tersebut ketidakadilan telah
muncul dalam hal pengingkaran status yang mengakibatkan tindakan diskriminasi.
Namun perusahaan sering menggunakan alasan jika tenaga kerja perempuan menikah,
maka jika suami bekerja, anak-anak sudah masuk dalam daftar gaji suami.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja,
pengusaha dibebani kewajiban untuk mengupayakan agar syarat-syarat keselamatan
kerja terjamin sebagaimana terinci dalam pasal 3 ayat (1), yang antara lain
memuat keharusan untuk pencegahan bahaya kebakaran dan peledakan, memberikan
alat perlindungan dini, mencegah timbulnya penyakit akibat kerja, menjaga
kebersihan, mengusahakan adanya penerangan dan penyegaran udara yang cukup, dan
sebagainya.[16]
Ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja tampaknya secara umum
belum mencapai tujuan yang maksimal. Masih banyak keluhan yang terdengar dari
para pekerja melalui berbagai media mengenai kesehatan kerja. Dengan upah yang
di bawah upah minimum rasanya tidak mungkin dapat memenuhi persyaratan makan
yang bergizi, yang sangat perlu untuk menjaga produktivitas kerjanya. Kalaupun
perusahaan memberikan uang makan, sering tidak mencukupi atau jika menyediakan
makanan pun dapat dikatakan masih makanan yang kurang bergizi. Selain itu
fasilitas kesehatan pun terkadang tidak tersedia di dalam suatu perusahaan,
sehingga kondisi kesehatan para pekerja sulit untuk terkontrol.
Pekerja laki-laki dan perempuan memang terkadang dibedakan dalam
penerimaan upah namun untuk jam kerja pun terkadang disamakan sehingga
merugikan pekerja perempuan. Larangan bagi tenaga kerja perempuan untuk bekerja
pada malam hari didasarkan pada perlindungan terhadap kesehatan dan kesusilaan.
Pada prinsipnya tenaga kerja wanita tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan
pada malam hari, kecuali jika memang pekerjaan itu menurut sifat, tempat, dan
keadaannya dijalankan oleh wanita tidak dapat dihindarkan berhubung dengan
kepentingan atau kesejahteraan umum.
Sebagai sumber tenaga kerja yang murah dengan upah yang fleksibel,
barisan tenaga kerja cadangan, perempuan, terutama perempuan miskin yang
tertekan oleh ras, etnis, bangsa, dan kelas, juga secara tidak proporsional
rentan terhadap deregulasi pasar tenaga kerja. Dari paparan yang telah
disampaikan sebelumnya dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan feminisasi
kemiskinan global dan hakekat pembagian baru tenaga kerja. Tenaga kerja
internasional ter-gender-kan yang sangat mengandalkan tenaga kerja wanita dalam
mengekspor pengembangan wilayah negara berkembang, peningkatan seks-tourisme,
tenaga kerja domestik migran dan istri yang tunduk pada suami.
Pada saat ini banyak jabatan dan pekerjaan yang sebelumnya didominasi
oleh laki-laki menjadi didominasi oleh perempuan. Ini berarti bahwa timbul
perubahan pada pakerja perempuan dengan biaya rendah, posisi tawar lemah,
bahkan paruh waktu atau sistem kontrak-temporer yang memiliki sedikit
keuntungan sosial. Perubahan dalam pembagian kerja global dan ter-gender-kan
telah benar-benar mengeksploitasi pekerja perempuan di Indonesia. Pekerja
perempuan telah terkonstruksi, didukung dan terdorong oleh
perusahaan-perusahaan multinasional dan perintah-perintah yang ada.
Partisipasi Perempuan di Sektor Publik
Status ketenagakerjaan perempuan di Indonesia, khususnya di sektor
publik belum memuaskan. Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif belum cukup penting untuk
bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Meskipun
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan aksi
afirmasi yaitu 30% kuota untuk perempuan dalam partai politik, namun
keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih rendah. Pada periode 1992-1997,
proporsi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah 12,0% sedangkan pada
periode 1999-2004 adalah 9,9%, dan pada periode 2004-2009 adalah 11,6%.
Keterwakilan perempuan di DPD (yang dibentuk pada tahun 2004) juga masih rendah
yaitu 19,8%. Pegawai negeri sipil (PNS) perempuan yang menjabat sebagai eselon
I, II, dan III masih rendah, yaitu 12%. Demikian halnya peran perempuan di
lembaga judikatif juga masih rendah, masing-masing sebesar 20% sebagai hakim,
dan 18% sebagai hakim agung pada tahun 2004.
Dampak Feminisme pada Perempuan Indonesia
Gerakan feminisme yang terjadi di dunia telah memberikan gejala
langsung terhadap perempuan-perempuan di Indonesia. Di Indonesia sebenarnya
telah terjadi kebangkitan gerakan emansipasi yang dipelopori oleh R.A. Kartini,
kesadaran feminisme dirasakan berlangsung dalam lingkungan yang begitu berbeda.
Adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindarkan
iklim konfrontatif. Upaya untuk mengkaitkan gerakan feminisme pada satu pihak
dengan keadaan perempuan di Indonesia. Adapun dampak feminisme yang ditimbulkan
pada perempuan di Indonesia antara lain adalah :
-
Pengaruh seorang R.A.
Kartini terutama dalam menggugah aspirasi pendidikan bagi perempuan Indonesia,
tetapi dengan cita-cita yang terbatas pada pendidikan menjadi istri dan ibu
yang lebih dipersiapkan untuk tugasnya.
-
Tampilnya gerakan
perempuan yang terangsang oleh gerakan Sumpah Pemuda sekaligus berarti
kebangkitan untuk berorganisasi, berarti ruang gerak diluar rumah dalam
aspirasi nasional dan modern, sekaligus memberi akses pendidikan.
-
Revolusi dan perang
kemerdekaan melepaskan wanita lebih luas dari etnisitas tradisional,
pelonggaran sikap terhadap tradisi yang sekaligus berarti aspirasi pendidikan
yang lebih demokratis meluas ke lapisan-lapisan masyarakat, yang lebih luas
daripada para elite bangsa.
-
Adanya peluang untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan bagi perempuan-perempuan yang memiliki
pendidikan ataupun yang ingin memiliki penghasilan sendiri untuk membiayai
hidupnya dan keluarga.
-
Telah berkembangnya
idiom "wanita dan pembangunan" dengan GBHN yang memberi peluang untuk
berperan ganda tetapi dengan pemagaran untuk tidak meninggalkan
"kodrat" kewanitaannya.
-
Paradigma feminis telah
memperoleh tempat nyata lewat penyebaran idiom "gerakan perempuan",
yang semakin jeli terhadap ketimpangan-ketimpangan masyarakat, ideologi gender,
dan pelecehan seksual.
-
Peran perempuan dalam
masyarakat telah berubah drastis dan dinamis.
-
Sadar atau tidak sadar,
dunia dan peran perempuan telah berubah tak sesuai dengan perubahan dunia dari
nilai-nilai tradisi ke modern, kemudian ke pasca modern.
Dari dampak-dampak yang telah
dipaparkan jelas terlihat bahwa setiap manusia akan selalu terpengarul oleh apa
yang terjadi di sekelilingnya. Tidak ada manusia yang mampu untuk menutup diri
dari kehidupan orang lain. Sama seperti suatu negara yang mendapat pengaruh
dari negara lain karena adanya globalisasi.
Penutup
Kesetaraan gender dapat terjadi dengan adanya kesamaan persepsi
mengenai suatu hal yang terjadi dalam kehidupan, baik itu persepsi yang berasal
dari laki-laki ataupun perempuan. Sehingga dalam mencara penyelesaian suatu
masalah, atau membuat suatu kebijakan pun tidak akan mementingkan satu pihak
saja tetapi akan lebih mementingkan dari segala sudut pandang beserta
akibatnya.
Melihat dari ketentuan Undang-Undang yang melarang adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja (das sollen), maka seharusnya di dalam kenyataannya perempuan yang
bekerja memang benar-benar diperlakukan tanpa adanya diskriminasi dengan
laki-laki. Akan tetapi di dalam kenyataannya (das sein) sering terjadi diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan dalam banyak aspek dari pekerjaan.
Sebagai sumber tenaga kerja yang murah dengan upah yang fleksibel,
barisan tenaga kerja cadangan, perempuan, terutama perempuan miskin yang
tertekan oleh ras, etnis, bangsa, dan kelas, juga secara tidak proporsional
rentan terhadap deregulasi pasar tenaga kerja.
Status ketenagakerjaan perempuan di Indonesia, khususnya di sektor
publik belum memuaskan. Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif belum cukup penting untuk
bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Meskipun
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan aksi
afirmasi yaitu 30% kuota untuk perempuan dalam partai politik, namun
keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih rendah. Adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk
menghindarkan iklim konfrontatif.
Daftar Pustaka
Adriana Venny. 2010. Memberantas Kemiskinan dari Parlemen. Jakarta : Kemitraan Bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein.
1993. Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Scott Burchill dan Andew Linklater. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional.
Bandung : Penerbit Nusa Media.
[1] Dr. Hj. Sri
Hayati, M.Pd. dan Drs. Ahmad Yani, M.Si, 2007, Geografi Politik, Bandung : PT. Refika Aditama, Hlm. 109
[2] Ibid. Hlm. 111
[3] Ibid. Hlm. 112
[4] Fauzie
Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya, Hlm. 3
[5] Ibid. Hlm. 4
[6] Ibid. Hlm. 30
[7] Henrietta L.
Moore, 1998, Feminism and Anthropology,
Cambridge : Polity Press, Dikutip dari Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus
Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Hlm. 33
[8] R. Grant,
'The Quagmire of Gender and International Security', dalm V. S. Peterson (Ed.),
Gendered States (Boulder: 1992), Hlm.
86, Dikutip dari Scott Burchill dan Andew Linklater, 2009, Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media,
Hlm. 283
[9] G. Spivak,
'French Feminism Revisited : Ethics and Politics', dalam J. Scott dan J.
Butler, eds., Femnist Theorize the
Political (New York : 1992), Hlm. 57, Dikutip dari Scott Burchill dan Andew
Linklater, 2009, Teori-Teori Hubungan
Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media, Hlm. 283
[10] Scott
Burchill dan Andew Linklater, 2009, Teori-Teori
Hubungan Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media, Hlm. 296
[11] Prijono
Tjiptoherijanto, Krisis Ekonomi dan
Pembangunan Kependudukan, Diakses dari http://www.bappenas.go.id, Dikutip
dari Adriana Venny, 2010, Memberantas
Kemiskinan dari Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia, Hlm. 67
[12] Angka Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia
tertinggi di Asean, Diakses dari
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/09/02/index.html, Dikutip dari Adriana
Venny, 2010, Memberantas Kemiskinan dari
Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia, Hlm. 68
[13] Adriana
Venny, 2010, Memberantas Kemiskinan dari
Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia, Hlm. 70
[14] Fauzie
Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya, Hlm. 38
[15] Ibid. Hlm. 39
[16] Ibid. Hlm. 41