Translate

Minggu, 23 November 2014

Tugas Kapita Selekta "Kesetaraan Gender"

KESETARAAN GENDER TENAGA KERJA PEREMPUAN DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta
Pada Jurusan  Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jenderal Achmad Yani


Oleh :
Oki Anggraini
6211091020


E:\picture's\pic.jpeg



FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2012
INTISARI
KESETARAAN GENDER TENAGA KERJA PEREMPUAN DI INDONESIA

Oleh :
Oki Anggraini
6211091020

Globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Globalisasi telah memberikan perubahan terhadap fokus isu internasional yang beralih pada masalah sosial atau peningkatan taraf hidup manusia. Taraf hidup di dunia dapat dikatakan masih cukup rendah karena banyaknya pekerja perempuan yang mendapat upah murah. Pada saat ini pekerja perempuan semakin meningkat meskipun dengan upah yang murah. Namun melihat hal itu, disatu sisi perempuan semakin diakui peranannya dalam pembangunan sedangkan di sisi lain kita tidak dapat memungkiri terhadap hal-hal semisal diskriminasi upah antara laki-laki dan perempuan, pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan kerja, pengingkaran persyaratan-persyaratan kerja tertentu, dan sebagainya.
Berbagai peraturan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja telah berlaku di Indonesia, namun apakah hak serta perlindungan hukum yang diberikan terhadap tenaga kerja perempuan sudah menjamin kedudukan mereka dalam kenyataannya? Untuk membahas permasalahan mengenai hak dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap tenaga kerja perempuan dalam kenyataannya, maka penulis akan menggunakan teori feminisme sebagai landasan pemikirannya. Teori feminisme ini merupakan suatu upaya untuk mengkritik atas tingkah laku laki-laki yang dimulai dari pemberian tekanan terhadap perempuan sebagai pekerja.

Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perempuan, dan Hak
ABSTRACT
GENDER EQUALITY WOMEN WORKERS IN INDONESIA

By :
Oki Anggraini
6211091020

Globalization is a reality that has real consequences for how people and institutions around the world to walk.Globalization has given the changes in the focus of international issues are turning to social problems or improving the quality of human life. Standard of living in the world can be said is still quite low because of the many women who receive low wages. At this time women workers has increased despite the low wages. But look at it, on the one hand, women are increasingly recognized role in development, while on the other hand we can not deny to things such as wage discrimination between men and women, violations of the safety provisions, the denial of certain working conditions, and so on.
Regulations relating to labor protection has been in force in Indonesia, but whether the rights and legal protections afforded to women workers have guaranteed their place in reality? To address issues of legal rights and protections afforded to women workers, in fact, the author will use feminist theory as the basis of his thinking. Feminist theory is an attempt to criticize the behavior of men at the start of administration pressure on women as workers.

Key Word : Labor, Women, and Right



Pendahuluan
Pada saat berakhirnya Perang Dingin, dunia berada dalam masa transisi yang menunjukkan kecenderungan baru secara substansial sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Contoh yang dapat dilihat adalah mengemukanya isu-isu baru yang telah mengubah wajah dunia seperti konflik etnis, munculnya terorisme internasional, globalisasi, regionalisasi, dan cenderung pada isu-isu lokal. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.[1] Sebagai fenomena baru, globalisasi dapat memiliki definisi yang berbeda-beda tergantung dari sisi mana untuk melihatnya. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan.[2] Namun para globalis tidak memiliki pendapat yang sama mengenai konsekuensi yang terjadi pada proses globalisasi, ada yang memiliki pandangan positif dan optimis, ada juga yang memiliki pandangan negatif dan pesimis.
Pendukung globalisasi menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia.[3] Pada kenyataannya justru globalisasi memberikan dampak yang buruk, diantaranya melemahnya pertumbuhan ekonomi, melemahkan industri dalam negeri, meningkatkan kemiskinan, meningkatnya pekerja perempuan dengan anak-anak karena upah yang murah, MNCs menerapkan industri padat modal, dan kesenjangan negara maju dan negara berkembang meningkat. Melihat dari kenyataan yang ditimbulkan dengan adanya globalisasi telah memberikan perubahan terhadap fokus isu internasional yang beralih pada masalah sosial atau peningkatan taraf hidup manusia. Taraf hidup di dunia dapat dikatakan masih cukup rendah karena banyaknya pekerja perempuan yang mendapat upah murah.
Dalam hidup bermasyarakat manusia belajar melalui lingkungan dengan sosialisasi, kenyataannya, biologis dan psikologis yang saling mempengaruhi.[4]  Kehidupan manusia di dunia direkayasa oleh lingkungan baik alam maupun tangan serta pikiran manusia sendiri. Manusia sejak lahir memang telah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan yang tidak hanya memandang aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dengan kata lain melalui ideologi gender, manusia menciptakan "kotak" untuk laki-laki dan "kotak" untuk perempuan sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya.[5] Sehingga ciri laki-laki dan ciri perempuan "dikunci mati" oleh ideologi gender.
Pada prinsipnya gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin.[6] Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi "maskulin" dan "feminim". Gender maskulin pada umumnya berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki, sedangkan gender feminim berhubungan dengan jenis kelamin perempuan. Gender memang tidak bersifat universal, akan tetapi hierarki gender bisa dikatakan universal. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi tersubordinasi.[7]  Pada saat ini pekerja perempuan semakin meningkat meskipun dengan upah yang murah. Namun melihat hal itu, disatu sisi perempuan semakin diakui peranannya dalam pembangunan sedangkan di sisi lain kita tidak dapat memungkiri terhadap hal-hal semisal diskriminasi upah antara laki-laki dan perempuan, pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan kerja, pengingkaran persyaratan-persyaratan kerja tertentu, dan sebagainya.
Perempuan dalam pembangunan memperlihatkan peran sentral perempuan sebagai penghasil nafkah hidup dan pemberi nafkah atas kebutuhan dasar dalam negara berkembang dan masyarakat yang sedang berkembang. Perempuan ini lebih dimotivasi oleh keinginan untuk 'mengintegrasikan' perempuan ke dalam proses pembangunan daripada oleh keinginan untuk mengakui dan mendukung perempuan yang telah memiliki peran integral dan diperlukan dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Perempuan dalam pembangunan biasanya hanya membantu perempuan untuk memenuhi kebutuhan kepentingan dan kebutuhan praktis dalam peranan sub-ordinannya. Sehingga sedikit sekali memberikan kepada perempuan keterampilan untuk memahami atau mengetahui sistem sosial, ekonomi dan politik tempat mereka hidup. Akibatnya ketidaksetaraan yang ada antara laki-laki dan perempuan diperkuat dengan bantuan pembangunan internasional. Berbagai peraturan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja telah berlaku di Indonesia, namun apakah hak serta perlindungan hukum yang diberikan terhadap tenaga kerja perempuan sudah menjamin kedudukan mereka dalam kenyataannya?
Rebecca Grant menyatakan bahwa teori feminis berkembang berdampingan dengan teori Hubungan Internasional pada abad 20 sejak berakhirnya Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat.[8] Teori feminisme ini merupakan suatu upaya untuk mengkritik atas tingkah laku laki-laki yang dimulai dari pemberian tekanan terhadap perempuan sebagai pekerja. Feminisme saat ini memang sudah menjadi bagian dari apa yang disebut 'Warisan Pencerahan Eropa' dan imbas upaya universalisasi emansipasi, kebenaran, dan rasionalitas, meskipun 'keterkaitannya dengan warisan tersebut sering kali dicatat sebagai sebuah bentuk perlawanan'.[9] Beragam feminisme timbul dari gerakan feminis itu sendiri, yaitu ketika sekelompok perempuan yang berbeda menghadapi representasi feminisme yang luar biasa.
Menurut pemikir-pemikir feminis, Hubungan Internasional sebagai suatu disiplin tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki gender : perempuan dan kaum feminis telah disingkirkan dari panggung politik. Berbagai analisis feminis menampakkan gender sebagai sebuah variabel dalam pembuatan keputusan luar negeri dengan menunjukkan dominasi gender laki-laki atas praktisi-praktisi konvensional dan memperlihatkan karakteristik maskulin sebagai aktor rasional strategis yang membuat keputusan hidup dan mati atas nama sebuah konsepsi abstrak 'kepentingan nasional'.[10] Kedudukan perempuan menjadi kurang diperhatikan dalam pengambilan keputusan hal-hal yang penting karena terikatnya perhatian para negarawan kepada maskulinitas. Gender adalah sebuah variabel, suatu konstitusi teoritis, dan kategori transformatif epistemik di dalam keilmuan Hubungan Internasional, yang menyatakan bahwa praktek politik internasional yang nyata telah mengalami kerugian karena mengabaikan perspektif feminis.




Pembahasan
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia.[11] Jumlah perempuan di Indonesia telah ada hampir setengahnya dari populasi penduduk yang semestinya direpresentasikan secara proporsional. Namun pada kenyataannya kondisi perempuan di Indonesia belum dapat dikatakan menggembirakan, di usia yang produktif ternyata masih terus dihantui oleh angka kematian ibu melahirkan yang cukup tinggi yakni 307 : 100.000 (versi pemerintah) adalah tertinggi di negara-negara ASEAN.[12] Perempuan Indonesia menghadapi persoalan akibat dari ketimpangan gender di lingkup domestik maupun publik. Dalam kasus antar gender, bargaining power laki-laki lebih kuat, sehingga sering kali terjadi eksploitasi, majikan terhadap buruh perempuannya, suami terhadap istrinya.
Feminisme, tuntutan agar perempuan sama di segala bidang merupakan wujud dari keinginannya untuk menyejahterakan dirinya, keinginan untuk membuang beban dengan tidak ingin punya anak, mungkin karena adanya reaksi kebencian terhadap laki-laki karena menindas kepentingannya. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam upaya penyetaraan gender, yang memang terbukti banyak produk hukum dan kebijakan publik yang telah dikeluarkan, namun persoalan gender masih saja terus muncul. Berikut adalah beberapa produk hukum dan komitmen pemerintah tersebut :[13]
1.      Undang-Undang Dasar 1945
Wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam keluarga, masyarakat dan pembangunan.
2.      GBHN 1999-2004 (TAP/IV/MPR/1999)
Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta histories perjuangan kaum perempuan.
3.      UU Nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan.
4.      Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 : Sistem pendidikan nasional wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dimulai tahun 1984. Orang tua dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita ataupun pria sekurang-kurangnya sampai menyelesaikan SLTP.
5.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
6.      Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional.
7.      Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah.
8.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per-03/MEN/1989 : larangan pemberhentian hubungan kerja bagi wanita karena perkawinan, hamil dan melahirkan.
9.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per-04/MEN/1989 : aturan (tata cara) untuk melindungi tenaga kerja wanita yang bekerja pada malam hari.
10.  Perjanjian tentang persamaan pembayaran upah/gaji bagi wanita dan pria untuk pekerjaan yang sama di Jenewa, disetujui dengan UU Nomor 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Mengenai pengupahan bagi laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lembaran negara No. 171 tahun 1957).
11.  Konferensi Beijing "Beijing Platform for Action", 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical issues.
12.  Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development-ICPD), Cairo 1994 mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
13.  Tujuan Pembangunan Millennium / Millennium Development Goals (MDGs) di tahun 2000 terutama pada tujuan ketiga yakni : mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Serta tujuan kelima yakni peningkatan kesehatan ibu.
14.  Instruksi Presiden No. 3 tahun 2010 tentang Pembangunan berkeadilan (sebagai penjabaran program MDGs).
Dari semua produk hukum dan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut sebenarnya belum jelas dapat dilakukan secara nyata jika ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan terus ada. Kesetaraan gender dapat terjadi dengan adanya kesamaan persepsi mengenai suatu hal yang terjadi dalam kehidupan, baik itu persepsi yang berasal dari laki-laki ataupun perempuan. Sehingga dalam mencara penyelesaian suatu masalah, atau membuat suatu kebijakan pun tidak akan mementingkan satu pihak saja tetapi akan lebih mementingkan dari segala sudut pandang beserta akibatnya.
Perempuan masih dianggap manusia kelas dua, dan memang hal tersebut diakui oleh perempuan dengan menonjolkan identitas mereka, sesungguhnya selama ini telah berlaku kompromi antara laki-laki dan perempuan. Dalam kompromi tersebut akan menampung semua kepentingan bersama, untuk membuat kesepakatan dalam hak dan kewajiban mereka sebagai diri masing-masing. Kesepakatan yang didapatkan dari kompromi antara laki-laki dan perempuan harus terjadi karena feminisme radikal yang menjauhkan perempuan dari laki-laki yang belum diterima di Indonesia. Yang terjadi justru perempuan harus maju bersama dengan laki-laki secara dominan.
Melihat dari ketentuan Undang-Undang yang melarang adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja (das sollen), maka seharusnya di dalam kenyataannya perempuan yang bekerja memang benar-benar diperlakukan tanpa adanya diskriminasi dengan laki-laki. Akan tetapi di dalam kenyataannya (das sein) sering terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam banyak aspek dari pekerjaan.

Pasal 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja menyebutkan bahwa "tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat."[14] Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa perempuan dapat menjadi tenaga kerja dan berpenghasilan tidak hanya laki-laki. Selain itu juga, tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun diluar hubungan kerja dengan alat produksi utama berupa tenaga maupun pikiran dari yang bersangkutan. Namun hingga saat ini peraturan-peraturan tentang ketenagakerjaan barulah menjangkau tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan. Di dalam hubungan kerja sebenarnya muncul keharusan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak yang mengikatkan diri.

Hak atas Perlindungan Hukum
Tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Adapun berbagai peraturan mengenai larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di bidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :[15]
1.      Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 27 ayat 2) : "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
2.      Undang-Undang No. 1 tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang No. 12 tahun 1948 (pasal 1) : "Orang dewasa; ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur di atas 18 tahun ke atas; orang muda ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur di atas 14 tahun tetapi di bawah 18 tahun; anak-anak ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah".
3.      Undang-undang No. 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
4.      Undang-undang No. 14 tahun 1969 (pasal 2) : "Dalam menjalankan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya tidak boleh ada diskriminasi".
5.      Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Dari kelima undang-undang yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas terlihat bahwa adanya larangan untuk mengadakan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perusahaan di Indonesia masih adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perusahaan tersebut memberikan upah kepada pekerjanya dengan memberikan tunjangan anak atau keluarga. Bagi tenaga kerja laki-laki yang berstatus menikah ataupun duda dan mempunyai anak, akan diberikan tunjangan tersebut. Namun bagi tenaga kerja perempuan dengan status yang sama akan diperlakukan berbeda, artinya tetap dianggap sebagai bujangan dengan akibat tidak memperoleh tunjangan keluarga. Dari hal tersebut ketidakadilan telah muncul dalam hal pengingkaran status yang mengakibatkan tindakan diskriminasi. Namun perusahaan sering menggunakan alasan jika tenaga kerja perempuan menikah, maka jika suami bekerja, anak-anak sudah masuk dalam daftar gaji suami.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, pengusaha dibebani kewajiban untuk mengupayakan agar syarat-syarat keselamatan kerja terjamin sebagaimana terinci dalam pasal 3 ayat (1), yang antara lain memuat keharusan untuk pencegahan bahaya kebakaran dan peledakan, memberikan alat perlindungan dini, mencegah timbulnya penyakit akibat kerja, menjaga kebersihan, mengusahakan adanya penerangan dan penyegaran udara yang cukup, dan sebagainya.[16]
Ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja tampaknya secara umum belum mencapai tujuan yang maksimal. Masih banyak keluhan yang terdengar dari para pekerja melalui berbagai media mengenai kesehatan kerja. Dengan upah yang di bawah upah minimum rasanya tidak mungkin dapat memenuhi persyaratan makan yang bergizi, yang sangat perlu untuk menjaga produktivitas kerjanya. Kalaupun perusahaan memberikan uang makan, sering tidak mencukupi atau jika menyediakan makanan pun dapat dikatakan masih makanan yang kurang bergizi. Selain itu fasilitas kesehatan pun terkadang tidak tersedia di dalam suatu perusahaan, sehingga kondisi kesehatan para pekerja sulit untuk terkontrol.
Pekerja laki-laki dan perempuan memang terkadang dibedakan dalam penerimaan upah namun untuk jam kerja pun terkadang disamakan sehingga merugikan pekerja perempuan. Larangan bagi tenaga kerja perempuan untuk bekerja pada malam hari didasarkan pada perlindungan terhadap kesehatan dan kesusilaan. Pada prinsipnya tenaga kerja wanita tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan pada malam hari, kecuali jika memang pekerjaan itu menurut sifat, tempat, dan keadaannya dijalankan oleh wanita tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum.
Sebagai sumber tenaga kerja yang murah dengan upah yang fleksibel, barisan tenaga kerja cadangan, perempuan, terutama perempuan miskin yang tertekan oleh ras, etnis, bangsa, dan kelas, juga secara tidak proporsional rentan terhadap deregulasi pasar tenaga kerja. Dari paparan yang telah disampaikan sebelumnya dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan feminisasi kemiskinan global dan hakekat pembagian baru tenaga kerja. Tenaga kerja internasional ter-gender-kan yang sangat mengandalkan tenaga kerja wanita dalam mengekspor pengembangan wilayah negara berkembang, peningkatan seks-tourisme, tenaga kerja domestik migran dan istri yang tunduk pada suami.
Pada saat ini banyak jabatan dan pekerjaan yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki menjadi didominasi oleh perempuan. Ini berarti bahwa timbul perubahan pada pakerja perempuan dengan biaya rendah, posisi tawar lemah, bahkan paruh waktu atau sistem kontrak-temporer yang memiliki sedikit keuntungan sosial. Perubahan dalam pembagian kerja global dan ter-gender-kan telah benar-benar mengeksploitasi pekerja perempuan di Indonesia. Pekerja perempuan telah terkonstruksi, didukung dan terdorong oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan perintah-perintah yang ada.

Partisipasi Perempuan di Sektor Publik
Status ketenagakerjaan perempuan di Indonesia, khususnya di sektor publik belum memuaskan. Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif belum cukup penting untuk bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Meskipun Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan aksi afirmasi yaitu 30% kuota untuk perempuan dalam partai politik, namun keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih rendah. Pada periode 1992-1997, proporsi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah 12,0% sedangkan pada periode 1999-2004 adalah 9,9%, dan pada periode 2004-2009 adalah 11,6%. Keterwakilan perempuan di DPD (yang dibentuk pada tahun 2004) juga masih rendah yaitu 19,8%. Pegawai negeri sipil (PNS) perempuan yang menjabat sebagai eselon I, II, dan III masih rendah, yaitu 12%. Demikian halnya peran perempuan di lembaga judikatif juga masih rendah, masing-masing sebesar 20% sebagai hakim, dan 18% sebagai hakim agung pada tahun 2004.

Dampak Feminisme pada Perempuan Indonesia
Gerakan feminisme yang terjadi di dunia telah memberikan gejala langsung terhadap perempuan-perempuan di Indonesia. Di Indonesia sebenarnya telah terjadi kebangkitan gerakan emansipasi yang dipelopori oleh R.A. Kartini, kesadaran feminisme dirasakan berlangsung dalam lingkungan yang begitu berbeda. Adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindarkan iklim konfrontatif. Upaya untuk mengkaitkan gerakan feminisme pada satu pihak dengan keadaan perempuan di Indonesia. Adapun dampak feminisme yang ditimbulkan pada perempuan di Indonesia antara lain adalah :
-         Pengaruh seorang R.A. Kartini terutama dalam menggugah aspirasi pendidikan bagi perempuan Indonesia, tetapi dengan cita-cita yang terbatas pada pendidikan menjadi istri dan ibu yang lebih dipersiapkan untuk tugasnya.
-         Tampilnya gerakan perempuan yang terangsang oleh gerakan Sumpah Pemuda sekaligus berarti kebangkitan untuk berorganisasi, berarti ruang gerak diluar rumah dalam aspirasi nasional dan modern, sekaligus memberi akses pendidikan.
-         Revolusi dan perang kemerdekaan melepaskan wanita lebih luas dari etnisitas tradisional, pelonggaran sikap terhadap tradisi yang sekaligus berarti aspirasi pendidikan yang lebih demokratis meluas ke lapisan-lapisan masyarakat, yang lebih luas daripada para elite bangsa.
-         Adanya peluang untuk mendapatkan lapangan pekerjaan bagi perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan ataupun yang ingin memiliki penghasilan sendiri untuk membiayai hidupnya dan keluarga.
-         Telah berkembangnya idiom "wanita dan pembangunan" dengan GBHN yang memberi peluang untuk berperan ganda tetapi dengan pemagaran untuk tidak meninggalkan "kodrat" kewanitaannya.
-         Paradigma feminis telah memperoleh tempat nyata lewat penyebaran idiom "gerakan perempuan", yang semakin jeli terhadap ketimpangan-ketimpangan masyarakat, ideologi gender, dan pelecehan seksual.
-         Peran perempuan dalam masyarakat telah berubah drastis dan dinamis.
-         Sadar atau tidak sadar, dunia dan peran perempuan telah berubah tak sesuai dengan perubahan dunia dari nilai-nilai tradisi ke modern, kemudian ke pasca modern.
Dari dampak-dampak yang telah dipaparkan jelas terlihat bahwa setiap manusia akan selalu terpengarul oleh apa yang terjadi di sekelilingnya. Tidak ada manusia yang mampu untuk menutup diri dari kehidupan orang lain. Sama seperti suatu negara yang mendapat pengaruh dari negara lain karena adanya globalisasi.

Penutup
Kesetaraan gender dapat terjadi dengan adanya kesamaan persepsi mengenai suatu hal yang terjadi dalam kehidupan, baik itu persepsi yang berasal dari laki-laki ataupun perempuan. Sehingga dalam mencara penyelesaian suatu masalah, atau membuat suatu kebijakan pun tidak akan mementingkan satu pihak saja tetapi akan lebih mementingkan dari segala sudut pandang beserta akibatnya.
Melihat dari ketentuan Undang-Undang yang melarang adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja (das sollen), maka seharusnya di dalam kenyataannya perempuan yang bekerja memang benar-benar diperlakukan tanpa adanya diskriminasi dengan laki-laki. Akan tetapi di dalam kenyataannya (das sein) sering terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam banyak aspek dari pekerjaan.
Sebagai sumber tenaga kerja yang murah dengan upah yang fleksibel, barisan tenaga kerja cadangan, perempuan, terutama perempuan miskin yang tertekan oleh ras, etnis, bangsa, dan kelas, juga secara tidak proporsional rentan terhadap deregulasi pasar tenaga kerja.
Status ketenagakerjaan perempuan di Indonesia, khususnya di sektor publik belum memuaskan. Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif belum cukup penting untuk bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Meskipun Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan aksi afirmasi yaitu 30% kuota untuk perempuan dalam partai politik, namun keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih rendah. Adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindarkan iklim konfrontatif.

Daftar Pustaka
Adriana Venny. 2010. Memberantas Kemiskinan dari Parlemen. Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Scott Burchill dan Andew Linklater. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung : Penerbit Nusa Media.




[1] Dr. Hj. Sri Hayati, M.Pd. dan Drs. Ahmad Yani, M.Si, 2007, Geografi Politik, Bandung : PT. Refika Aditama, Hlm. 109
[2] Ibid. Hlm. 111
[3] Ibid. Hlm. 112
[4] Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Hlm. 3
[5] Ibid. Hlm. 4
[6] Ibid. Hlm. 30
[7] Henrietta L. Moore, 1998, Feminism and Anthropology, Cambridge : Polity Press, Dikutip dari Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Hlm. 33
[8] R. Grant, 'The Quagmire of Gender and International Security', dalm V. S. Peterson (Ed.), Gendered States (Boulder: 1992), Hlm. 86, Dikutip dari Scott Burchill dan Andew Linklater, 2009, Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media, Hlm. 283
[9] G. Spivak, 'French Feminism Revisited : Ethics and Politics', dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Femnist Theorize the Political (New York : 1992), Hlm. 57, Dikutip dari Scott Burchill dan Andew Linklater, 2009, Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media, Hlm. 283
[10] Scott Burchill dan Andew Linklater, 2009, Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung : Penerbit Nusa Media, Hlm. 296
[11] Prijono Tjiptoherijanto, Krisis Ekonomi dan Pembangunan Kependudukan, Diakses dari http://www.bappenas.go.id, Dikutip dari Adriana Venny, 2010, Memberantas Kemiskinan dari Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Hlm. 67
[12] Angka Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia tertinggi di Asean, Diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2003/09/02/index.html, Dikutip dari Adriana Venny, 2010, Memberantas Kemiskinan dari Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Hlm. 68
[13] Adriana Venny, 2010, Memberantas Kemiskinan dari Parlemen, Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Hlm. 70
[14] Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein, 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Hlm. 38
[15] Ibid. Hlm. 39
[16] Ibid. Hlm. 41